Selasa, 13 April 2010


Menguak sejarah, Potensi dan Pariwisata di Rowo Bayu Banyuwangi

Oleh: Miskawi*

Kabupaten Banyuwangi merupakan Kabupaten diujung paling timur di pulau Jawa, Secara administrasi terletak sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur Selat Bali, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso. Secara geografis Banyuwangi terletak pada koordinat 7° 45’15’ – 80 43’ 2’ lintang selatan dan 113° 38’ 10’ bujur Timur, karena letak geografis inilah menjadikan Kabupaten Banyuwangi sangat strategis.

Kabupaten Banyuwangi memiliki potensi wisata yang sangat besar. Apabila digali akan menjadi suatu kekuatan ekonomi yang potensial. Perkembangan Kabupaten Banyuwangi dipengaruhi karena posisi adanya keragaman pemandangan alam, peristiwa-peristiwa sejarah dan kekayaan seni budaya serta adat tradisi.

Beberapa objek pariwisata yang ada di Kabupaten Banyuwangi dibagi menjadi beberapa objek, diantaranya objek wisata adat dan tradisi Banyuwangi, objek wisata alam Banyuwangi, objek wisata religi, dan objek wisata peninggalan sejarah (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, 2008). Sehingga beberapa objek wisata tersebut menimbulkan beberapa produk wisata yang khas. Beberapa produk tersebut yang dihasilkan antara lain berupa: Kesenian Tradisi Gandrung, Tari Jejer, Seblang Kesenian Tradisonal Patrol, Barong, Kesenian Jaranan Buto, Kesenian Dammar Wulan, Angklung. Kawah Ijen, Rowo Bayu, Taman Wisata Sri Tanjung, Museum Blambangan Gua Maria Jatiningrum, Situs Tawangalun, dan Ompak Songo. Semua hasil tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat Banyuwangi sangat menghormati leluhurnya dan memiliki karakteristik dalam pengembangan budaya yang telah dihasilkan. Dalam penelitian ini, akan difokuskan pada objek wisata peninggalan sejarah di Kabupaten Banyuwangi sebagai bagian yang tidak terpiahkan dari perang Puputan Bayu.

Secara histories keberadaan Kabupaten Banyuwangi tidak lepas dari peristiwa tanggal 18 Desember 1771. Peristiwa tersebut dikenal dengan perang Puputan Bayu, Perang Puputan Bayu dipimpin oleh Pangeran Jagapati. Menurut sumber Babad, Pangeran Jagapati sebelum dikukuhkan oleh rakyat sebagai Raja Blambangan 24 september 1771- 6 0ktober 1771, ia bernama Ki Mas Rempeg yang merupakan keturunan Tawangalun, anak dari Mas Bagus Puri Dalem Wiraguna dari istri selir, berasal dari Desa Pakis (Darusuprapto,1984: 50).

Peristiwa yang menarik dalam perang Puputan Bayu merupakan perang semesta bagi rakyat Banyuwangi atau disebut perang habis-habisan melawan Colonial Belanda (VOC). Hal ini terbukti akibat perang Bayu pada kerugian dipihak VOC dengan tercatat banyaknya yang gugur di medan perang dan peperangan melawan rakyat belambangan diperkirakan banyak menghabiskan dana senilai 8 ton emas yang merupakan pukulan terhadap keuangan Negara VOC. Sedangkan pihak-pihak penduduk belambangan telah menelan korban sekitar 60 orang (Lekkerkerker, 1923: 1064).

Daya tarik Rowo Bayu sangatlah potensial sekali, karena memiliki nilai-nilai histories, religi, pemandangan alam yang indah, hasil kebudayaan dan masyarakat yang ramah-tamah. Selain itu, juga didukung oleh keberadaan pandangan masyarakat bahwa tempat tersebut dianggap sebagai tempat suci dan keramat.

Bayu ditinjau dari kajian histories, tidak lepas dari peranan wong using dalam melawan VOC Belanda pada tahun 1771-1772 dan puncak yang pencak peperangan terjadi pada tanggal 18 Desember 1771 terhadap VOC. Desa Bayu dapat memberikan inspirasi terhadap perjuangan rakyat Blambangan. Nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme rakyat Blambangan tumbuh dan berkembang berkat keadaan daerah Bayu yang pernah dijadikan sebagai tempat daerah pertapaan yang dibangun oleh Tawang Alun. Salah satu faktor rakyat Blambangan mendukung Perjuangan Pangeran Jagapati (Mas Rempeg) dengan memusatkan kekuasaaan di Benteng Bayu. Selain itu, kemenangan Pangeran Jagapati dalam perang Bayu melawan pasukan-pasukan VOC 18 Desember 1771. Tanggal kemenangan tersebut telah diperingati untuk dijadikan sebagai sejarah hari jadi Banyuwangi.

Bayu ditinjau dari nilai-nilai religi, bahwa keberadaan Rowo Bayu khususnya di petilasan Tawang Alun dapat memberikan nilai religius bagi penganut agama Hindu. Selain itu. Banyak masyarakat yang beragama Islam berdatangan untuk mendoa kepada pejuang Perang Puputan Bayu dan berdoa untuk diri sendiri agar dipermudahkan rizkinya walaupun ditempat petilasan Tawang Alun. Hal tersebut diperkuat oleh pendapatnya Miskawi (2007:37), menyatakan bahwa “makam bagi masyarakat bukan hanya sekedar mengubur mayat, akan tetapi makam adalah tempat yang dikeramatkan karena disitulah dikuburkan jasad orang keramat. Dan keberadaan makam juga sebagai simbol yang ada kaitannya dengan mempertahankan konservasi sumber daya alam (SDA)”. Selain itu, bahwa keyakinan pra Islam tidak semua ditolak oleh agama Islam.

Selain Rowo Bayu memiliki nilai-nilai histories dan religi. Hal lain yang menarik yaitu pemandangan alam Rowo Bayu yang alami dan merupakan hutan Lindung, sehingga sejuk dan indah jika dinikmati. Selain itu, di kompleks Desa Bayu terdapat rawa-rawa, sisa-sisa benteng Bayu dan pemandangan alam yang menjadi daya tarik wisatawan baik domistik maupun manca Negara. Keunikan yang terakhir selain didukung oleh tiga hal tersebut keberadaan Rowo Bayu juga mempunyai nilai potensial karena masyarakat khususnya Desa Bayu terdapat hasil kubudayaan yang berupa kesenian gandrung, Barong, angklung dan sebagainya.

Potensi wisata yang ada di Desa Bayu Kecamatan Songgon Kabupaten Banyuwangi memungkinkan untuk dikembangkan secara optimal, karena banyak meninggalkan peristiwa sejarahnyadan cerita sejarah. Salah satu diantaranya adalah Rowo Bayu, yang merupakan objek wisata sejarah andalan yang memiliki banyak peninggalan sejarah baik berupa bangunan maupun non bangunan yang menarik para wisatawan dan mengandung nilai filosofi (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990:394-395).

Rowo Bayu sebagai sebuah aset sejarah yang langka akan menjadi daya tarik tersendiri karena Rowo Bayu adalah sebuah daerah yang ada di Kabupaten Banyuwangi yang sekaligus sebuah peristiwa yang banyak menyimpan nilai-nilai sejarah Kabupaten Banyuwangi hal ini terbukti sampai sekarang Rowo Bayu sebagai tempat yang dapat memberikan inspirasi terhadap perjuangan rakyat Blambangan .

Konstribusi budaya Rowo Bayu terhadap pariwisata yaitu banyak memperlihatkan keunikan nilai-nilai sejarah yang sifatnya tradisonal. Sebagai tradisi masyarakat yang langka, Rowo Bayu ini banyak memikat wisatawan untuk menikmatinya.

Sebaliknya konstribusi pariwisata terhadap Rowo Bayu bukan hanya kebutuhan ekonomi dan memperluas lapangan kerja, tetapi dapat juga melestarikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Rowo Bayu itu sendiri. Karen dengan adanya pariwisata justru akan menggairahkan perkembangan kebudayaan asli.

Rowo Bayu merupakan kawasan tropis yang masih begitu alami. Terletak dikawasan hutan petak 8, kawasan hutan Songgon, bagian dari kesatuan Pemangku hutan Rogojampi, KPH Banyuwangi Barat. Keseluruhan luasnya 11 Ha, 8 Ha merupakan wilayah hutan alami sebagian merupakan tanaman pinus yang menjadi cirri khas dari hutan ini dan sebagian besar lagi masih merupakan hutan alami dengan beraneka ragam tanaman dan semak belukar. Air rawa yang tenang dan berwarna hijau diperkirakan memiliki kedalaman antara 7 sampai 8 meter di bagian tepid an 10 sampai 12 meter di bagian tengahnya. Rowo Bayu terlihat semacam kolam alami yang luas yang memiliki ekosistem yang belum terjamah oleh apapun. Di dalamnya terdapat ti sumber air (sendang) antara lain :

  1. Sendang Kaputren
  2. Sendang Wigangga (berupa pancuran patung yang berbentuk seorang wanita membawa kendi (tempat air kuno)
  3. Sendang Kamulyan ( tepat berada di belakang bangunan petilasan).

Rowo Bayu sebagai tempai wisata yang pengunjungnya tidak hanya dari wilayah Banyuwangi saja tetapi di luar daerah juga ini bisa di karenakan keberadaan 3 sendang ini, sumber airnya yang alami dapat dijadikan sebagai pengobatan alternatif (di luar pengobatan kedokteran). Kandungan airnya yang lebih bagus dari air – air biasa dan terpercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Awal memasuki kawasan Desa Bayu tempat Rowo Bayu berada, kita akan menjumpai sebuah menumen yang berbentuk tugu. Monumen tersebut adalah menumen Bayu, bangunan yang merupakan simbul bahwa pernah terjadi pertempuran besar antara rakyat Blambangan dengan penjajah dan mengingatkan kita bahwa semangat nasionalisme dan patriotisme selalu tumbuh dalam jiwa rakyat Blambangan saat itu.

Monumen tersebut mempunyai bagian – bagian pokok yaitu:

  1. Barung Garuda yang merupakan lambang negara Indonesia dengan 5 sila di dadanya.
  2. Miniatur Pangeran Rempeg Jagapati

Sebagai pemimpin perang Bayu dan seorang tokoh yang menggugah semangat rakyat Blambangan dalam mengusir penjajah. Didirikan dengan begitu megah yang merekontruksikan sosok Pangeran Jagapati sesungguhnya dengan keris ditangannya yang menunjukkan semangat juang kepemimpinnya.

  1. miniatur Sayu Wiwit

srikandi Blambangan yang merupakan istri dari pangeran Jagapati. Sosok wanita bangsawan yang sebelumnya adalah wanita yang lemah lembut harus turun kemedan pertempuran membela tanah Blambangan. Dengan persenjataan busur panah sangat terlihat keberaniannya yang sebelumnya tertutupi oleh kelembutannya.

  1. Macan Putih

Merupakan lambang dari kerajaan Blambangan, macan putihlah yang menemui Prabu Tawang Alun usai beliau bertapa di Bayu, yang kemudian memberi perintah untuk membangun sebuah istana yaitu istana Blambangan. Monumen Perang Puputan Bayu disahkan oleh Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi.

Kemudian perjalanan berlanjut memasuki kawasan hutan pinus yang merupakan ciri khas dari hutan Rowo Bayu. Jalan masuk kawasan objek wisata masih berupa tanah yang juga terdapat bebatuan berserakan diseluruh bagian jalan. Entah memang sengaja dibiarkan alami seperti itu atau tidak adanya perhatian dari pemerintah daerah untuk memperbaiki akses jalan di kawasan tersebut.

Kemudian yang menarik perhatian kita adalah keberadaan pohon beringin besar di perbukitan tepat di atas rawa – rawa. Menurut sejarah yang berkembang, dulunya pohon tersebut merupakan tempat pemakaman massal pejuang Bayu dan tempat penggantungan kepala – kepala Pejuang Bayu yang dipenggal oleh pasukan VOC, Hal tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat juang rakyat Blambangan. Pasukan VOC beranggapan bahwa dengan menggantungkan kepala – kepala pejuang Blambangan yang telah tewas akan membuat pejuang Blambangan takut tetapi pada kenyataannya hal tersebut semakin membuat semangat pejuang Blambangan menyala dan berjuang hingga titik darah penghabisan. Pohon tersebut oleh ummat Hindu di keramatkan dengan cara dibungkus kain dan diberi sesaji menurut keyakinan mereka. Dan yang terkhir adalah bumi perkemahan yang ada disana dan masuk dalam kawasan wisata Bayu. Hal tersebut menjelaskan bahwa Rowo Bayu bukan hanya tempat wisata sejarah tetapi juga menunjang proses pendidikan. Rowo Bayu sebagai alamatakambang juga hadir sebagai media pembelajaran yang medukung prosesnya.

Miskawi adalah dosen Universitas 17 agustus 1945 Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP Untag Banyuwangi, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Banyuwangi